Mulai 29 September 2024, sebuah fenomena langka akan terjadi ketika Bumi diprediksi “memiliki bulan kedua,” berupa asteroid kecil yang diberi nama 2024 PT5. Fenomena ini menjadi viral di berbagai media sosial, memicu banyak spekulasi dari publik mengenai keberadaan “bulan kembar” yang mengelilingi Bumi.
Namun, menurut Thomas Djamaluddin, peneliti bidang astronomi-astrofisika dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), fenomena tersebut bukanlah indikasi bahwa Bumi benar-benar memiliki bulan kedua. Ia menjelaskan bahwa asteroid 2024 PT5 hanya sementara terperangkap dalam gravitasi Bumi dan akan kembali ke orbit asalnya di sabuk asteroid Arjuna setelah 25 November 2024.
“Asteroid ini bukan bulan kedua. Karena hanya terjebak sementara dalam gravitasi Bumi, beberapa media menyebutnya sebagai ‘bulan mini,'” ujar Thomas.
Thomas menambahkan bahwa istilah “bulan kembar” tidak akurat. Bumi sejatinya hanya memiliki satu satelit alami, yaitu bulan yang telah mengelilingi planet kita selama lebih dari 4 miliar tahun. Meski begitu, pada waktu-waktu tertentu, benda langit lain seperti asteroid memang dapat tertangkap oleh gravitasi Bumi dan mengelilingi planet ini sementara waktu.
Asteroid 2024 PT5 berukuran kecil, hanya sekitar 10 meter, sehingga tidak akan terlihat seperti bulan yang biasa kita lihat di langit. Selain itu, orbit asteroid ini tidak berbentuk lingkaran sempurna dan hanya akan mengitari Bumi sekali sebelum kembali ke orbit aslinya mengelilingi Matahari.
Walau ukurannya kecil, asteroid ini tetap menjadi perhatian para astronom. Thomas menegaskan bahwa asteroid tersebut tidak berbahaya bagi Bumi. Jika masuk ke atmosfer, asteroid ini akan terbakar habis dan kemungkinan hanya menyisakan fragmen kecil yang jatuh di wilayah yang tidak berpenghuni.
Observatorium di seluruh dunia telah siap mengamati fenomena ini dengan teleskop canggih. Para ilmuwan menganggap fenomena ini menarik, karena mengingatkan kita bahwa masih banyak benda-benda di tata surya yang dapat memberikan kejutan.
“Fenomena seperti ini mengingatkan kita akan kompleksitas tata surya dan potensi kejutan yang bisa terjadi sewaktu-waktu,” pungkas Thomas.